Sejarah dan Keutamaan Puasa Tanggal 10 Asyura

‘Asyura berasal dari kata ‘asyara, artinya bilangan sepuluh. Secara istilahi Puasa ‘Asyura adalah puasa yang dikerjakan pada tanggal 10 Muharram pada Kalender Islam Hijriyah. Tahun 1435 H ini hari 'Asyura bertepatan dengan 14 Nopember 2013 M. Hukum puasa Asyura adalah sunnah; maksudnya sangat dianjurkan dan berpahala bagi yang menerjakannya namun tidak berdosa bagi yang tidak mengerjakannya.

Syaikh Nawawi al-Bantani menerangkan dalam kitab Nihayatuz Zain bahwa ada hari-hari tertentu yang disunnahkan berpuasa. Pertama puasa hari arafah, yaitu puasa pada tanggal sembialn Dzulhijjah bagi yang tidak berhaji.

Kedua puasa tanggal sepuluh Muharram yang dikenal dengan hari asyuro'. Ketiga puasa tanggal Sembilan Muharram atau disebut dengan hari tasu'a. Keempat puasa enam hari di bulan Syawwal. Kelima puasa tanggal tiga belas pada tiap bulannya. Keenam puasa hari senin dan kamis.
Tanggal sepuluh Muharram yang dalam bahasa arab disebut asyuro' adalah hari istimewa. Nabi pernah ditanya mengenai keistimewaan tanggal tersebut. Beliau menjawab bahwa puasa tanggal 10 Muharram yakaffirus sannah al-madhiyyah .
Artinya puasa tanggal 10 Muharram dapat menebus dosa satu tahun yang lalu. Sedangkan puasa hari ‘Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah dapat menebus dosa dua tahun yang lalu. Hal ini dikarenakan hari ‘Arafah adalah hari khususnya manusia termulia di maya pada ini, yaitu Rasulullah SAW. Sedangkan 10 Muharram adalah harinya para Nabi lainnya.

Sejarah dan Keutamaan Puasa Tanggal 10 Asyura
Selanjutnya diterangkan pula bahwa 10 Muharram adalah hari yang penuh dengan kesejarahan. Tercatat beberapa kejadian penting bagi para Nabi yang berlangsung pada tanggal 10 Muharram, tentunya dengan tahun yang berbeda-beda. 
Pertama, 10 Muharram adalah hari diciptakannya Nabi Adam as. di dalam surga.
Kedua, hari dimana Nabi Nuh berhenti berlayar dalam banjir bandangnya.  
Ketiga, Allah menjadikan lautan bagaikan daratan sebagai ruang pelarian Nabi Musa sekaligus kuburan bagi Fir’aun.  
Keempat, hari keluarnya Nabi Yunus dari perut ikan Hut.
Kelima, hari dilahirkannya Khalilullah Nabi Ibrahim as dan juga hari diselamatkannya Nabi Ibrahim as dari kobaran api.  
Keenam, hari kelahiran Nabi Isa as dan hari dimana Allah swt. menyelamtkan Nabi Isa as dari kejaran umatnya dengan mengangkatnya ke atas.

Sedangkan puasa tanggal Sembilan Muharram disunnahkan berdasarkan pada hadits Rasulullah SAW: "Andaikan aku ada umur panjang, aku akan puasa tanggal 9 dan 10 Muharram”.

Dalam kesempatan lain Imam Ajhuri mengatakan bahwa barang siapa mengucapkan hasbunallah wani’mal wakil ni’mal maula wa ni’man nashir sebanyak 70 kali di malam 10 Muharram, insyaallah Allah akan mencukupi kehidupannya tahun pada tahun tersebut.
Hukum Tanam Sperma Menurut Islam - Kasus Julia Perez

Hukum Tanam Sperma Menurut Islam - Kasus Julia Perez

Hukum Tanam Sperma Menurut Islam - Kabar tentang artis Julia Perez yang berencana akan melakukan tanam sperma nampaknya sudah tersebar di berbagai media. Kabarnya ia akan melakukan taman sperma ini di rumah sakit di Singapura dan Malaysia. Seperti yang diberitakan situs Republika, kini artis yang kerap disapa Jupe ini pun sudah berada di RS Mount Elizabeth Singapura untuk melalui sejumlah tes.

Hukum Tanam Sperma Menurut Islam oleh Julia Perez

Dilihat dari akun Twitter pribadi miliknya, @juliaperrez, Jupe telah berada di rumah sakit tersebut sejak Kamis (9/10) lalu. "Aku percaya pertolongan tuhan tidak pernah terlambat.. Bismillah," begitu cuitan Jupe.
Bahkan saat ini, Jupe telah bertemu dengan salah satu dokter di RS Mount Elizabeth Singapura yang bernama Yap Whang Whee Yong. Jupe juga mengucapkan terima kasihnya ke dokter tersebut dengan mengunggah sebuah foto di akun Instagram miliknya bersama tiga orang lainnya saat sedang di rumah sakit tersebut.

Jupe terlihat memakai jaket sweeter berwarna krem dengan rambut dikepang dan disampirkan ke samping kanan pundaknya. Sepertinya Jupe sudah siap untuk melakukan program penanaman sperma tersebut.
Tanam sperma ini sendiri menimbulkan kontroversi.

Hukum Tanam Sperma Menurut MUI

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah mengatakan bahwa proses tanam sperma ini telah dinyatakan haram karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Menurut MUI, sperma bersifat haram jika dari kloning atau dari sumber yang bukan dari hubungan nikah. Cholil Nafis, Ketua Komisi Dakwah MUI, menyatakan bahwa proses tanam sperma tak bisa dibenarkan. "Tidak boleh, itu haram. Sperma di luar pernikahan itu haram," tegas Cholil, Rabu (8/10/2014).

Hukum Tanam Sperma Menurut Para Ulama'

Kalau Islam telah melindungi keturunan, yaitu dengan mengharamkan zina dan pengangkatan anak, sehingga dengan demikian situasi keluarga selalu bersih dari anasir-anasir asing, maka untuk itu Islam juga mengharamkan apa yang disebut pencangkoan sperma (bayi tabung), apabila ternyata pencangkoan itu bukan sperma suami. Bahkan situasi demikian, seperti kata Syekh Syaltut, suatu perbuatan zina dalam satu waktu, sebab intinya adalah satu dan hasilnya satu juga, yaitu meletakkan air laki-laki lain dengan suatu kesengajaan pada ladang yang tidak ada ikatan perkawinan secara syara' yang dilindungi hukum naluri dan syariat agama. Andaikata tidak ada pembatasan-pembatasan dalam masalah bentuk pelanggaran hukum, niscaya pencangkoan ini dapat dihukumi berzina yang oleh syariat Allah telah diberinya pembatasan; dan kitab-kitab agama akan menurunkan ayat tentang itu.

Apabila pencangkoan yang dilakukan itu bukan air suami, maka tidak diragukan lagi adalah suatu kejahatan yang sangat buruk sekali, dan suatu perbuatan mungkar yang lebih hebat daripada pengangkatan anak. Sebab anak cangkokan dapat menghimpun antara pengangkatan anak, yaitu memasukkan unsur asing ke dalam nasab, dan antara perbuatan jahat yang lain berupa perbuatan zina dalam satu waktu yang justru ditentang oleh syara' dan undang-undang, dan ditentang pula oleh kemanusiaan yang tinggi, dan akan meluncur ke derajat binatang yang tidak berperikemanusiaan dengan adanya ikatan kemasyarakatan yang mulia.

Sudah jelas sekali dari penjelasan diatas tentang Hukum Tanam Sperma Menurut Islam sebagaimana pada Kasus Julia Perez. Jadi sebaiknya kita menghindari hal-hal semacam ini yang sudah jelas keharamannya. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita semua. Amin.
Rukun dan Tata Cara Mandi Wajib

Rukun dan Tata Cara Mandi Wajib

Setelah sebelumnya kita membahas tentang Pengertian Mandi Wajib dan penyebabnya, sekarang kita masuk pembahasan selanjutnya, yaitu Rukun dan Tata Cara Mandi Wajib. Hal ini perlu diperhatikan, karena jika rukun tidak terpenuhi, maka mandi waji tidak sah. Jika mandi wajib tidak sah, maka semua ibadah kita juga tidak sah.
Rukun dan Tata Cara Mandi Wajib

Rukun Mandi Wajib ada 3 :
  1. Niat
  2. Bila ada najis pada tubuh, membasuhnya bisa berbarengan dengan mandi wajib. Artinya membersihkan najis boleh disatukan dengan mandi wajib.
  3. Meratakan air ke seluruh anggota badan yang zahir (terlihat) termasuk semua lipatan badan. Meliputi kulit, rambut dan bulu yang ada di badan, sama bulu-bulu yang jarang ataupun lebat.

NIAT MANDI WAJIB


نويت الغسل لرفع الحدث الأكبر فرضا لله تعالى

"Saya niat mandi untuk menghilangkan hadats besar karena Allah Ta'ala".

Niat ini hanya diucapkan di dalam hati dan tidak perlu diucapkan secara lisan. Niat ini diucapkan bersamaan dengan basuhan pertama pada anggota badan serta meratakannya ke seluruh tubuh.

Untuk perempuan yang mandi wajib kerana hadas haid niat mandi wajibnya adalah “Sengaja aku membersihkan hadats haid kerana Allah Taala.” Sedangkan untuk yang habis nifas, niat mandi wajibnya ialah “Sengaja aku membersihkan hadats nifas kerana Allah Taala”.
Niat mandi wajib hendaklah diucapkan apabila mulai mengenakan air ke bagian anggota mandi.Bila niat dilafalkan setelah seseorang telah membasuh anggota badannya, mandi wajibnya tidak sah dan dia mesti mengulang kembali niatnya ketika memulai membasuhkan air ke seluruh anggota badannya. Begitupun jika seseorang berniat sebelum air sampai ke badan, niat itu juga tidak sah dan dia harus mengulang kembali niatnya sambil membasuhkan air ke seluruh anggota badannya.

Orang yang tidak berniat mandi wajib tidak memenuhi rukun mandi wajib dan dengan itu tidak boleh dikatakan telah melakukan mandi wajib. Dia hanya sekadar mengerjakan mandi biasadan masih terikat dengan larangan yang dikenakan untuk orang yang berhadas besar.

TATA CARA MANDI WAJIB SESUDAH HAID

Dalam pandangan agama Islam, haid merupakan sesuatu yang najis dan akan menjadi penghalang para wanita dalam melaksanakan ibadah sholat dan puasa. Oleh sebab itu maka setelah selesai haid seorang wanita harus bersuci dengan cara yang lebih dikenal dengan sebutan mandi wajib haid.

Aturan-aturan pelaksanaan dan tata cara mandi wajib setelah haid harus disesuaikan dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, dan dalam hal ini dilaksanakan sesuai dengan yang diriwayatkan pada hadits oleh Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwa Asma’ binti Syakal Radhiyallahu ‘Anha bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang mandi haidh, maka beliau bersabda:

"Salah seorang di antara kalian (wanita) mengambil air dan sidrahnya (daun pohon bidara, atau boleh juga digunakan pengganti sidr seperti: sabun dan semacamnya-pent) kemudian dia bersuci dan membaguskan bersucinya, kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya lalu menggosok-gosokkanny­a dengan kuat sehingga air sampai pada kulit kepalanya, kemudian dia menyiramkan air ke seluruh badannya, lalu mengambil sepotong kain atau kapas yang diberi minyak wangi kasturi, kemudian dia bersuci dengannya. Maka Asma’ berkata: “Bagaimana aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah" maka ‘Aisyah berkata kepada Asma’: "Engkau mengikuti (mengusap) bekas darah (dengan kain/kapas itu)."

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwa seorang wanita bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang mandi dari haid. Maka beliau memerintahkannya tata cara bersuci, beliau bersabda:

“Hendaklah dia mengambil sepotong kapas atau kain yang diberi minyak wangi kemudian bersucilah dengannya. Wanita itu berkata: “Bagaimana caranya aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah bersucilah!” Maka ‘Aisyah menarik wanita itu kemudian berkata: “Ikutilah (usaplah) olehmu bekas darah itu dengannya(potongan kain/kapas).”(HR. Muslim: 332)

An-Nawawi rahimahullah berkata (1/628):
“Jumhur ulama berkata (bekas darah) adalah farji (kemaluan).” Beliau berkata (1/627): “Diantara sunah bagi wanita yang mandi dari haid adalah mengambil minyak wangi kemudian menuangkan pada kapas, kain atau semacamnya, lalu memasukkannya ke dalam farjinya setelah selesai mandi, hal ini disukai juga bagi wanita-wanita yang nifas karena nifas adalah haid.” (Dinukil dari Jami’ Ahkaam an-Nisaa’: 117 juz: 1).

Syaikh Mushthafa Al-’Adawy berkata:
“Wajib bagi wanita untuk memastikan sampainya air ke pangkal rambutnya pada waktu mandinya dari haidh baik dengan menguraikan jalinan rambut atau tidak.Apabila air tidak dapat sampai pada pangkal rambut kecuali dengan menguraikan jalinan rambut maka dia (wanita tersebut) menguraikannya-bukan­ karena menguraikan jalinan rambut adalah wajib-tetapi agar air dapat sampai ke pangkal rambutnya, Wallahu A’lam.” (Dinukil dari Jami’ Ahkaam An-Nisaa’ hal: 121-122 juz: 1 cet: Daar As-Sunah).

Dengan beberapa hadist tersebut, maka beberapa hal yang wajib dilakukan oleh seorang wanita apabila telah bersih dari haid adalah membersihkan seluruh anggota badan minimal dengan menyiramkan air keseluruh badan sampai kepangkal rambut. Adapun tata cara mandi wajib haid secara ringkas dapat dilakukan sebagai berikut :

Cara mandi wajib yang paling baik adalah mengikuti cara yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmizi.
  1. Membaca bismillah sambil berniat untuk membersihkan hadas besar .
  2. Membasuh tangan sebanyak 3 kali.
  3. Membasuh alat kelamin dari kotoran dan najis.
  4. Mengambil wuduk sebagaimana biasa kecuali kaki. Kaki dibasuh setelah mandi nanti.
  5. Membasuh keseluruhan rambut di kepala.
  6. Membasuh kepala berserta dengan telinga sebanyak 3 kali dengan 3 kali menimba air.
  7. Meratakan air ke seluruh tubuh di sebelah lambung kanan dari atas sampai ke bawah.
  8. Meratakan air ke seluruh tubuh di sebelah lambung kiri dari atas sampai ke bawah.
  9. Menggosok bagian-bagian yang sulit seperti pusar, ketiak, lutut dan lain-lain supaya terkena air.
  10. Membasuh kaki.
Demikianlah Rukun dan Tata Cara dalam mandi wajib, semoga bermanfaat.
Pengertian Mandi Wajib dan Sebab Diwajibkannya Mandi Wajib

Pengertian Mandi Wajib dan Sebab Diwajibkannya Mandi Wajib

Pengertian Mandi Wajib dan Sebab Diwajibkannya Mandi Wajib
Islam sangat memperhatikan kebersihan. Baik itu kebersihan diri kita sendiri, ataupun lingkungan sekitar. Hal ini terbukti dengan disyaratkannya bersuci sebelum melakukan ibadah wajib. Dan jika kita tidak bersuci, maka ibadah kita tidak sah. Bersuci dalam hal ini membersihkan diri sendiri ada 2 kategori. Yang pertama adalah bersuci dari hadats besar, dan yang kedua bersuci dari hadats kecil.

Pada kesempatan ini kita akan membahas tentang cara membersihkan diri dari hadats besar. Yaitu dengan mandi wajib atau junub. Mandi wajib atau mandi besar atau mandi junub adalah padanan kata yang sama. Kenapa disebut mandi wajib? Karena mandi ini hukumnya wajib setelah istimta', keluarnya mani atau habisnya masa haidh atau nifas. Istilah mandi besar adalah istilah yang datang dari Indonesia sendiri. Ini karena seseorang sedang menyandang hadats besar (junub). Seperti yang difirmankan Allah:


و إن كنتم جنبا فاطهروا
Dan jika kalian sedang dalam keadaan hadats maka bersucilah (mandi).

Mandi junub wajib dilakukan untuk orang-orang yang menyandang hadats besar karena hadats besar sendiri tidak bisa dihilangkan dengan berwudhu saja. Jika ia tidak mandi, maka shalatnya tidak sah.

Sebab-sebab Diwajibkannya Mandi

Seperti keterangan diatas, mandi besar dilakukan karena hadats besar. Adapun hadats besar ini diantaranya adalah:
1. Jima' (berhubungan suami istri)
Walaupun kemaluan laki-laki belum mengeluarkan mani setelah dimasukkan ke faraj, atau belum dimasukkan tapi sudah keluar mani. Maka wajib keduanya untuk mandi besar setelah melakukannya.
2. Keluarnya mani
Walaupun tidak sedang jima' tapi jika seseorang mengeluarkan mani, maka wajib mandi. Baik itu keluar saat tidur, atau melamun dan sebagainya.
3. Mati, kecuali mati syahid karena perang di Jalan Allah. Mayat tidak dimandikan karena agar darah menjadi bukti bahwa ia syahid di jalan Allah.
4. Keluar haid bagi perempuan.
Sebagaimana hadits Rasulullah: “Jika datang haid, maka tinggalkan solat. Dan jika telah lewat, maka mandi dan Solatlah” (HR. Al Bukhari)
5. Keluar nifas (darah yang keluar mengiringi bayi ketika perempuan bersalin).
6. Wiladah atau melahirkan anak.
7. Masuk Islam bagi orang yang sebelumnya kafir. Dari Qais bin Ashim, ia menceritakan bahwa ketika ia masuk Islam, Nabi saw menyuruhnya mandi dengan air dan bidara (HR. At Tirmidzi dan Abu Dawud).

Selanjutnya: Rukun dan Tata Cara Mandi Wajib.
Perselisihan tentang Doa untuk Orang yang sudah Meninggal

Perselisihan tentang Doa untuk Orang yang sudah Meninggal

Perselisihan tentang Doa untuk Orang yang sudah Meninggal
Banyak orang yang berselisih tentang sampainya doa yang dibacakan oleh kita yang masih hidup untuk orang yang sudah meninggal. Begitu pula dengan shodaqoh dan bacaan al-quran. Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:

وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى

“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)

Juga hadits Nabi MUhammad SAW:
اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ

“Apabila anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”

Mereka sepertinya, hanya secara harfiyah (apa adanya) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :

وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)

Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.

وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ

“Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)

سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ

“Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; ya berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).

Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.

Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.

Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.

Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ


“Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.”

Syaikhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.